Home Berita Menghidupkan Ilmu Agama di Tingkat Perguruan Tinggi

Menghidupkan Ilmu Agama di Tingkat Perguruan Tinggi

Home Berita Menghidupkan Ilmu Agama di Tingkat Perguruan Tinggi

Menghidupkan Ilmu Agama di Tingkat Perguruan Tinggi

by admin trilogi

Oleh : Dr. Sugeng Priyono, S.E., M.E.I[1]

Pendidikan agama Islam merupakan ikhtiar untuk membangun kesadaran peserta didik untuk memahami hakekat kedudukannya di hadapan Tuhan, di tengah masyarakat dan kesadaran di dalam dirinya sendiri, seperti dalam ungkapan, “Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu, siapa yang mengenal dirinya maka ia sungguh mengenal siapa Tuhannya”. Dalam tataran makro pembangunan suatu bangsa seharusnya dilandaskan pada konsep pendidikan individu manusia yang beradab berdasarkan nilai-nilai ajaran agama. Sivitas akademika di perguruan tinggi hendaknya mempunyai interpretasi yang benar terhadap hikmah Ilahiyah sehingga universitas mampu melahirkan sarjana, intelektual dan pemimpin masa depan yang mempunyai pandangan hidup (worldview) yang benar sesuai ajaran agama. Hal ini juga termaktub dalam konstitusi kita yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu menciptakan manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, terampil, menguasai iptek, serta beriman dan bertaqwa  kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pembelajaran ilmu agama (pendidikan agama Islam) di tingkat perguruan tinggi hendaknya tidak sebatas pengetahuan atau knowledge saja, akan tetapi semestinya juga praktik amaliah dalam kehidupan keseharian para mahasiswa peserta didik. Terlebih dalam semangat implementasi kurikulum MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) saat ini yang meniscayakan sumber belajar tidak hanya di ruang-ruang kelas di kampus, tetapi juga di alam bebas, lingkungan masyarakat dan pusat-pusat sumber ilmu bisa didapatkan untuk memperdalam pemahaman dan memperluas cakrawala peradaban hasanah ilmu pengetahuan. Korelasi antara ilmu, amal dan ikhlas dalam hal ini menjadi suatu kesatuan yang utuh guna nilai kemanfaatan ilmu pengetahuan dan prestasi terbaik kaum terpelajar.

Pengalaman penulis saat mengampu mata kuliah pendidikan agama Islam di Universitas Trilogi suatu perguruan tinggi swasta di Jakarta, khususnya pada tahun ajaran 2023-2024 ini berupaya mencari cara terbaik bagaimana pembelajaran agama tidak sebatas teori tetapi juga praktik amaliah keilmuan agama tersebut. Sejak awal perkuliahan ditanamkan pada mahasiswa tentang prinsip-prinsip dalam agama Islam yaitu Tauhid, hal ini juga mendasari sila pertama Pancasila yang menjiwai seluruh sila lainnya. Selanjutnya penjelasan tentang rukun agama yaitu Iman, Islam dan Ihsan dengan metode pembelajaran sebagaimana Rasulullah menyampaikan kepada para sahabat yakni dengan cara Tanya-jawab. Pada akhirnya mahasiswa mulai lebih memahami nash al Qur’an, al Hadits maupun qaul Ulama tentang prinsip dasar dalam beragama Islam tersebut.

Pada sesi pertemuan yang ketiga mulai diadakan curah gagas (brainstorming) yang diinisiasi oleh koordinator mahasiswa untuk mengerjakan proyek kelas yang sudah disepakati diawal kontrak perkuliahan dan akan dikerjakan bersama sebagai tugas kelas dan menjadi indikator ketercapaian pembelajaran mata kuliah agama tersebut. Tentu penulis selaku dosen pengampu memberi arahan dan panduan bagaimana proyek kelas itu dapat terselenggara dengan baik, disamping menfasilitasi pengerjaan kewajiban tugas individu dan tugas kelompok berupa makalah ilmiah, presentasi serta diskusi kelas selama satu semester berjalan. Alhasil terbentuk kepanitiaan acara yang dilaksanakan bersama lintas kelas mata kuliah pendidikan agama Islam, dan pada saat yang sama juga bekerjasama dengan kelas mata kuliah pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan.

Agenda yang disepakati oleh mahasiswa untuk proyek kelas dengan semboyan “TRILOGI Beraksi” yaitu yang pertama mengadakan Audiensi ke MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam rangka kunjungan belajar untuk memperkaya wawasan mahasiswa mengenai pengamalan nilai-nilai ajaran agama dan peran ulama sebagai pewaris Nabi dalam menjaga kerukunan umat (ukhuwah Islamiyah) persatuan dan kesatuan bangsa (ukhuwah wathaniyah), serta ikhtiar bersama untuk merawat jagat dan membangun peradaban (ukhuwah basyariyah/insaniyah). Upaya realisasi status manusia sebagai hamba untuk beribadah, dan kewajiban manusia selaku wakil Tuhan di muka bumi, khalifatullahi fil ardl. Mahasiswa para peserta audiensi aktif bertanya sehingga terjadi diskusi yang intens terkait persoalan keummatan dan bagaimana peran MUI, termasuk dalam hal pemberdayaan ekonomi umat misalnya peran lembaga zakat dan wakaf yang ada dibawah naungan MUI dari tingkat pusat hingga wilayah untuk menjangkau sasaran masyarakat yang layak mendapat bantuan program. Kemudian kebutuhan sumberdaya manusia untuk turut serta membantu program-program yang ada termasuk dimungkinkannya mahasiswa magang ikut serta aktif didalamnya sesuai dengan semangat pelaksanaan kurikulum merdeka belajar kampus merdeka.

Agenda berikutnya mahasiswa kelas mata kuliah agama Islam bekerjasama kolaborasi dengan Pusat Studi Halal UNUSIA menyelenggarakan Pelatihan pendampingan produk halal (PPH) selama dua hari mengelaborasi ekonomi halal; bagaimana produk makanan-minuman dari mulai bahan, alur proses, distribusi hingga penyajiannya ke konsumen dipastikan halal. Produk halal telah menjadi kesadaran global bahkan gaya hidup (halal life style). Karenanya mengelola industri halal meliputi mata rantai yang panjang, dari hulu ke hilir disebut Halal-value chain. Halal juga berkaitan dengan multi-stakeholders, saat ini menjadi tren industri yang sangat menjanjikan karena memang produk makanan-minuman berkontribusi besar terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia.

Industri halal tentu sejalan dengan maqashid syariah yang merupakan nilai-nilai universal bagi kemanusiaan, seperti halnya pendidikan, ekonomi dan bisnis Islami, keuangan syariah, kosmetik dan obat halal, halal travel, makanan-minuman halal, hingga fashion syariah, kini terus berkembang. Agar industri produk halal dalam negeri dapat tumbuh dan berkembang pesat sehingga mampu mengimbangi perdagangan produk halal global, perlu upaya mendorong bangkitnya industri produk halal Indonesia. Produk industri yang dapat diterima dan diminati masyarakat dan menjadi andalan komoditi ekspor sehingga mampu menggerakkan sektor riil dan menumbuhkan perekonomian nasional maka perlu strategi yang tepat diantaranya penyiapan sumberdaya manusia.

Pada era globalisasi dan digital technology, industri halal telah menjadi sektor yang berkontribusi besar pada perekonomian dunia. Sektor produk halal menjadi bidang yang mendominasi bisnis perdagangan global. Dengan potensi pasar sangat besar, dimana populasi muslim dunia saat ini sudah melebihi 1,6 miliar, bahkan juga didukung dengan berkembangnya gaya hidup halal masyarakat non-muslim, menyebabkan potensi pasar produk halal semakin meningkat. Dalam hal ini, produk halal telah menjadi rahmatan lil alamîn bagi yaitu memberikan kebaikan bagi yang mengonsumsinya, juga memberikan nilai ekonomi bagi pelaku bisnis produk halal. Indonesia dengan jumlah masyarakat muslim terbesar, penyiapan sumberdaya manusia oleh perguruan tinggi merupakan suatu keniscayaan.

Bedah buku, “Visi Indonesia 2045” diagendakan mengakhiri tahun 2023 dan memasuki tahun 2024. Mahasiswa kelas kuliah pendidikan agama Islam menjalin kerjasama kolaborasi berikutnya dengan BAPPENAS untuk hadir di kampus me-launching serta bedah buku tema agama dan perekonomian nasional. Sebagaimana ditegaskan dalam suatu ayat Al Qur’an, “… waltandzur nafsun maa qaddamat lighad…, hendaklah seseorang memperhatikan apa yang sudah disiapkan untuk menyongsong hari esok…”. Mahasiswa dan kaum muda adalah aset bangsa yang hendaknya mempersipkan diri dengan sebaik-baiknya dengan bekal ilmu dan keterampilan serta keteguhan iman dan takwa demi meraih prestasi terbaik dan bersiap diri menghadapi masa depan. Indonesia dengan surplus demografi, potensi sumber daya manusia dan sumber daya alamnya mempunyai peluang yang demikian besar menuju era kejayaan masa keemasan pada tahun 2045 mendatang.

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau, 718 kekayaan bahasa dan beragam budaya nusantara. Luas wilayah Indonesia jika dibentangkan dari ujung Barat ke Timur – Sabang sampai Merauke, hakikatnya sama dengan bentangan dunia dari London hingga Baghdad. Adapun batas utara Indonesia dari Kepulauan Talaud hingga selatan Pulau Roti akan sama panjangnya dengan jarak dari Berlin hingga Aljazair.[1] Jadi luas wilayah Indonesia sama halnya dengan bentangan luas dunia dari Timur Tengah, melewati Eropa Barat dan memasuki wilayah Inggris, yang ini berarti luasan Indonesia menempati hampir seperenam lingkaran bumi, sehingga sejarah nusantara sesungguhnya juga adalah sejarah dunia.

Sejarah perjuangan kemandirian ekonomi bangsa bahkan dimulai sejak masa kolonial pada tahun 1912 Haji Oemar Said Cokroaminoto mendirikan Sarekat Dagang Islam dan sekitar tahun 1918 para pedagang muslim dan ulama mendirikan Nahdlatul Tujjar yang menjadi bentuk gerakan perlawanan terhadap hegemoni penjajah yang saat itu melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber kekayaan alam nusantara dan berupaya menguasai serta menjarah hasil-hasil perekonomian pribumi. Selanjutnya, Taswirul Afkar yang bergerak dalam bidang keilmuan dan budaya pada tahun 1922, dan Nahdlatul Wathon yang bergerak dalam bidang politik melalui bidang pendidikan pada tahun 1924.

Ijtihad atau kesungguhan upaya 3 (tiga) langkah pergerakan tersebut merupakan pilar perjuangan bangsa yang meliputi wawasan ekonomi kerakyatan; wawasan keilmuan, sosial budaya; dan wawasan kebangsaan.[2] Perjuangan kemandirian ekonomi umat ini terus berlanjut hingga lahir organisasi masyarakat Islam yaitu Muhammadiyah (1912) dan Nahldatul Ulama (1926) dan seterusnya hingga peristiwa Sumpah Pemuda (1928) dan gerakan para pejuang di seantero tanah air untuk mencapai kemerdekaan Indonesia yang berkat rahmat Allah da didorong oleh keinginan luhur pada akhirnya diploklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.

Pembangunan merupakan suatu transformasi masyarakat dalam arti luas, suatu gerakan perubahan dari hubungan dan cara berpikir tradisional, cara-cara tradisional dalam menangani kesehatan dan pendidikan, serta métode tradisional dalam berproduksi ke arah cara-cara yang lebih modern, antara lain dalam mengurangi kematian bayi, menaikkan usia harapan hidup, dan meningkatkan produktivitas.[3] Partisipasi dan kepemilikan (ownership) adalah bagian esensial dari kesuksesan pembangunan; sedangkan partispasi yang efektif dalam pembuatan keputusan pembangunan memerlukan transparansi.[4] Transformasi masyarakat secara luas mencakup hampir seluruh aspek kehidupan, seperti sosial dan budaya, ekonomi, politik dan tata kelola, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup, dan sebagainya.

Refleksi di bidang ekonomi akan mengikuti alur penulisan sebagai berikut: pertama, refleksi mengenai pertumbuhan dan ketahanan ekonomi selama 18 tahun terakhir sebelum RPJPN berakhir pada tahun 2025, termasuk capaian dan pembelajaran yang dapat diambil. Kedua, refleksi tentang PDB per kapita dan kualitas pertumbuhan; sedangkan yang ketiga, stabilitas moneter dan keuangan. Keempat, mengungkapkan refleksi tentang ketahanan dan keberlanjutan fiskal serta rasio pajak; adapun yang kelima (terakhir) menjelaskan refleksi tentang daya saing, kontribusi industri manufaktur, dan produktivitas.

Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas mempunyai tiga dimensi, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi serta lima faktor penentu kunci, yaitu: (i) inklusivitas manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi, (ii) menggunakan kapital alam, manusia, dan manufaktur secara efisien dan produktif, (iii) transformasi struktural yang meningkatkan nilai sosial dan ekonomi, (iv) investasi yang seimbang dari semua bentuk kapital, dan (v) batasan dalam bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan ditentukan oleh keterkaitan kebijakan ilmu pengetahuan yang kuat dan kredibel serta dialog dengan pemangku kepentingan.[5]

Sementara dari hasil kesepakatan antara pemerintah dengan DPR, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dimaknai sebagai pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas serta menjadi sasaran pembangunan dalam dokumen pembangunan seperti RPJPN, RPJMN, dan RKP.[6] Adapun pertumbuhan ekonomi berkelanjutan adalah pertumbuhan ekonomi dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan; pertumbuhan harus inklusif dan ramah lingkungan untuk menurunkan kemiskinan dan membangun kemakmuran bersama bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang melalui pemanfaatan sumberdaya secara efisien, bijak, dan berkelanjutan.[7]

Jebakan negara berpendapatan menengah atau Middle-Income Trap (MIT) merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Bank Dunia (tepatnya oleh Indermit Gill dan Homi Kharas) pada tahun 2007, dimana negara-negara berpendapatan menengah tumbuh kurang cepat karena terjepit di antara negara-negara berpendapatan rendah sebagai kompetitornya yang mendominasi industri-industri yang pasarnya sudah jenuh dan negara- negara inovator kaya yang mendominasi industri-industri yang teknologinya berubah cepat.[8] Suatu situasi dimana negara berpendapatan menengah tak bisa lagi berkompetisi di tingkat internasional di dalam produk-produk padat karya yang stándar karena upah relatif terlalu Tinggi, tapi mereka tidak juga dapat berkompetisi di dalam aktivitas-aktivitas bernilai tambah tinggi pada skala yang cukup karena produktivitasnya terlalu rendah; hasilnya adalah pertumbuhan yang lambat, upah yang stagnan atau jatuh, dan ekonomi informal yang semakin berkembang.[9]

Dengan demikian dalam mengupayakan suatu negara agar mampu keluar dari MIT merupakan tantangan dan perjuangan yang tidak mudah. Kita bisa belajar baik dari negara yang berhasil maupun yang gagal keluar dari MIT. Untuk itu minimal dibutuhkan suatu lingkungan kebijakan yang mampu menjaga stabilitas ekonomi makro yang didukung oleh kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan pemerintah yang sensibel disertai dengan investasi yang mengandung teknologi baru dan kebijakan yang kondusif untuk inovasi.[10] Keajaiban pertumbuhan di Asia Timur seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan Hongkong semua terjadi karena adanya peningkatan ekspor produk-produk yang belum pernah diproduksi sebelumnya; dan keajaiban pertumbuhan yang berlangsung lama ini pasti melibatkan pengenalan terus- menerus akan produk-produk baru, tidak hanya melulu pembelajaran terus-menerus terhadap sekumpulan produk yang tetap.[11]

Upaya untuk dapat terlepas dari MIT, kebanyakan kajian menekankan pentingnya transformasi struktural terhadap produksi dan kandungan ekspor suatu negara, dari aktivitas teknologi rendah kepada aktivitas teknologi yang lebih tinggi, dengan teknologi yang diproduksi dan dikembangkan sendiri berdasarkan inovasi sendiri ketimbang menjiplak dari negara lain.[12] Untuk itu diperlukan kebijakan yang antara lain mampu mendukung dan mewujudkan faktor- faktor berikut:[13] (i) mengubah/meningkatkan keterampilan tenaga kerja dari berketerampilan rendah (yang hanya mampu menjiplak/imitasi) kepada tenaga kerja berketerampilan lebih tinggi (yang mampu berinovasi); (ii) melakukan perubahan dari kegiatan-kegiatan manufakturing berteknologi rendah (yang juga berproduktivitas rendah) kepada teknologi yang lebih maju/tinggi (yang berproduktivitas tinggi dan lebih canggih); (iii) melatih dan merekrut tenaga kerja yang mempunyai keterampilan dan pengetahuan dalam bidang perancangan (design) untuk meningkatkan dan memperluas aktivitas inovasi; (iv) mendorong peningkatan aktivitas penelitian dan pengembangan, terutama untuk peningkatan produksi barang2 inovatif berteknologi tinggi yang mampu menembus pasar ekspor dunia; (v) membangun infrastruktur canggih, khususnya di bidang perancangan untuk meningkatkan inovasi dan jaringan pengetahuan (knowledge network); serta (vi) memperbaiki penegakan peraturan hak kekayaan intelektual (khususnya dalam hal administrasi paten) dan menghilangkan rigiditas pasar tenaga kerja.

Perlu dipahami bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi kecil kemungkinannya terjadi di negara-negara yang penduduknya banyak yang berpendidikan SMA ke atas (secondary and tertiary educations) dan mempunyai produk-produk berteknologi tinggi yang berkontribusi besar dalam ekspornya sehingga mereka mampu terlepas dari MIT.[14] Argumen bahwa perbaikan pengetahuan (knowledge) adalah sumber utama dari pertumbuhan menjadi lebih meyakinkan bagi negara-negara berkembang sebagaimana Laporan Bank Dunia 1998-99 menekankan, apa yang membedakan antara negara-negara berkembang dan maju tidak hanya kesenjangan sumberdaya, namun juga kesenjangan dalam pengetahuan.[15]

Konvergensi kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang yang tidak dapat semakin dekat tergantung pada kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang spesifik yang biasanya sulit diidentifikasi dan diterapkan serta diperlukan transformasi strukural yang tidak kolot (unorthodox) dari aktivitas-aktivitas yang berproduktvitas rendah kepada yang lebih tinggi dan lebih terdiversifikasi.[16] Ketika suatu ekonomi/negara mampu mencapainya dan mulai menjadi produsen produk-produk yang berteknologi dan bernilai tambah tinggi, itulah jalan untuk naik kelas dan transformasi semacam ini tidak bisa dicapai oleh kekuatan pasar sendiri tanpa bantuan sehingga partisipasi aktif pemerintah sangat diperlukan.

Namun perlu dicermati bahwa menggantungkan pada PDB semata sebagai ukuran kesejahteraan sangatlah terbatas/sempit dan salah arah; penambahan ukuran multi-dimensi dibutuhkan, termasuk pembangunan manusia dan sumberdaya alam serta keberlanjutan lingkungan.[17] Untuk itu dalam upaya untuk terbebas dari MIT dan menjadi negara maju harus tetap berpegang pada upaya dan ukuran pembangunan multi-dimensi dengan melibatkan segenap unsur masyarakat sebagaimana telah dirumuskan di dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan – TPB (Sustainable Development Goals – SDGs)[18] sehingga menjadi negara maju dan sejahtera yang terus tumbuh secara inklusif dan berkelanjutan.

Pada pergantian abad ini kita mulai memasuki Revolusi industri keempat (IR 4.0) yang dipicu dan dibangun oleh revolusi digital yang ditandai dengan menyebarnya penggunaan internet bergerak (mobile internet) dimana-mana, AI, dan pembelajaran mesin (machine learning); disamping kecepatan dan keluasan cakupannya, 4IR juga unik karena terjadi harmonisasi dan integrasi antar berbagai disiplin yang berbeda.[19] Pengembangan daya saing, terutama di bidang perekonomian dalam era IR 4.0 memerlukan upaya dan pendekatan yang berbeda dari periode-periode sebelumnya. Agar daya saing tetap kuat, baik perusahaan maupun Negara harus mampu untuk selalu di garis depan dalam inovasi. Strategi yang hanya mengandalkan pengurangan biaya menjadi kurang efektif dibandingkan dengan strategi yang berdasarkan penawaran produk dan jasa yang inovatif, terutama untuk produk-produk ekspor.

Pemerintah bersama para pemangku kepentingan harus berkolaborasi membangun sistem pendidikan yang berkualitas; selain membangun karakter yang kuat (berbudi pekerti luhur) dan inovatif sesuai dengan tuntutan perkembangan kedepan (terutama pesatnya perkembangan teknologi), namun juga memperkuat/meningkatkan kualitas pendidikan sains, matematika, dan membaca untuk pendidikan dasar atau SMA ke bawah (secondary education) serta meningkatkan kualitas dan memperluas program studi STEAM (science, technology, engineering, arts, and mathematics) untuk tingkat sarjana ke atas (tertiary education) dengan menerapkan praktik-praktik terbaik dunia yang disesuaikan dengan budaya dan kearifan lokal Indonesia/ Nusantara sebagai jatidiri bangsa.

Agenda berikutnya yaitu “Seminar Kebangsaan dan Teknologi Sains”  adalah sebuah pertemuan ilmiah yang diselenggarakan untuk membahas berbagai isu yang berkaitan dengan perkembangan teknologi sains dalam konteks kebangsaan dan nasionalisme. Seminar ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana kemajuan teknologi dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai kebangsaan, moralitas, dan keimanan, sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila. Dalam seminar ini, para peserta yang terdiri dari akademisi, dan mahasiswa akan mendapatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan baru tentang bagaimana mengembangkan dan menerapkan teknologi yang tidak hanya inovatif, tetapi juga beretika dan bertanggung jawab sosial.

Indonesia sedang menghadapi era revolusi industri 4.0, di mana teknologi sains berkembang dengan sangat pesat. Namun, kemajuan teknologi ini harus dibarengi dengan penerapan nilai-nilai Pancasila dan keimanan untuk memastikan bahwa perkembangan tersebut tidak hanya membawa manfaat teknis, tetapi juga menjunjung tinggi moralitas, etika, dan kebangsaan. Pentingnya integrasi antara teknologi, keimanan, dan nilai kebangsaan menjadi latar belakang utama kegiatan ini, dengan harapan membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga berkarakter dan berkepribadian luhur.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendorong penerapan nilai-nilai kebangsaan dalam inovasi dan teknologi, membentuk karakter generasi muda yang cerdas teknologi sekaligus berakhlak mulia dan nasionalis, mengedukasi generasi muda tentang pentingnya nilai-nilai Pancasila dan keimanan dalam pengembangan teknologi sains.

[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah – Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Mizan, Jakarta, 1998, hlm. 66-68.

[2] Sugeng Priyono, “Paradigma Ekosistem Halal Indonesia”, suatu makalah disampaikan pada Peresmian Pusat Studi Halal Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (PSH UNUSIA) Jakarta, jl. Taman Amir Hamzah no.5 Pegangsaan Menteng Jakarta Pusat pada Selasa, 18 Februari 2020.

[3] Joseph Stiglitz, 1998. “Towards A New Paradigm for Development”, 9th Raúl Prebisch Lecture, United

Nations Conference On Trade And Development (UNCTAD), hal.5

[4] Ibid, hal.17

[5] UNESCAP: https://sdghelpdesk.unescap.org/e-library/shifting-quantity-quality-growth-equality-efficiency- sustainability-and-dynamism

[6] DPR-RI, “Capaian Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas Di Indonesia”, Laporan Kajian Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN DPR-RI, 2014

[7] World Bank. “Beyond Economic Growth 2nd ed”. 2004, hal.27

[8] Indermit Gill and Homi Kharas, An East Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth, The World Bank, 2007, hal. 5 dan 17-35.

[9] Eva Paus, Escaping the Middle-Income Trap: Innovate or Perish, ADB Institute, Working Paper 685, March 2017, hal. 1-4

[10] Breda Griffith, Ibid, hal. 40

[11] Lucas, R. E. (1988), On the Mechanics of Economic-Development, Journal of Monetary Economics, 22(1), hal. 34 dan 41.

[12] Güzin Bayar. Escape From Middle Income Trap: An Export Structure Approach to the Case of Poland, Argumenta Oeconomica, No 2 (47) 2021, hal.129

[13] Pierre-Richard Agénor and Otaviano Canuto, Middle-Income Growth Traps, World Bank Policy Research Working Paper No. 6210, September 2012, hal. 24-27.

[14] Eichengreen, B., Donghyun, P., Kwanho, S., Growth Slowdowns Redux: New Evidence on the Middle-Income Trap, NBER Working Paper No. 18673, 2013. hal. 2.

[15] Joseph E. Stiglitz, Rethinking Development Economics, The World Bank Research Observer, July 2011, hal. 230-234.

[16] Rodrik, D, Ibid, hal. 3 dan 38.

[17] Vinod Thomas, Revisiting the Challenge of Development di dalam Gerald M. Meier and Joseph E. Stiglitz (eds.), Frontiers of Development Economics: The Future in Perspective, publikasi World Bank dan Oxford University Press, tahun 2001, hal. 149-182.

[18] Bappenas, Peta Jalan SDGs Indonesia: Menuju 2030, 2019, hal. xii-xiii.

[19] Schwab, The Fourth Industrial Revolution, World Economic Forum, 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 + 3 =