“Dari pandemi akibat Covid-19, kini negara-negara di dunia menuju krisis ekonomi,” kata Rektor Universitas Trilogi, Prof Mudrajad Kuncoro, Ph.D dalam Webinar Program MM Universitas Trilogi yang mengangkat tema, New Normal & Economic Recovery: Tantangan Akselerasi Kebijakan Strategis di Jakarta, Jumat (10/7/2020)
Guru Besar Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gajah Mada (FEB UGM) ini mengatakan semua indikator menuju resesi dapat dilihat dengan nyata. Mulai dari kurs harian rupiah pada 21 Mei 1998-8 Juli 2020 mengalami depresiasi.
Era Presiden Jokowi 20,09 persen, lebih tinggi daripada era SBY (3,3-6,06 persen), tapi lebih rendah daripada era Gus Dur (57,15 persen). Di era Megawati rupiah malah mengalami apresiasi 14,5 persen, juga di era Habibie Rp menguat 38,12 persen.
“Dampak Covid-19 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan pertama 2020 anjlok menjadi 2,97% (yoy), bahkan sudah negatif 2,41 persen (qtq). Padahal sejak 2014, Indonesia mampu tumbuh sekitar 5 persen. Tapi saat ini pemerintah tengah berupaya membangkitkan perekonomian Indonesia,” ungkap Prof Mudrajad Kucoro.
Mudrajad mencatat penyebab kontraksi di triwulan kedua 2020, adalah : Pertama, tekanan besar perekonomian di hampir semua sektor lantaran kinerjanya lesu selama April-Mei. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya penerimaan negara dari pajak yang terkontraksi 10,8 persen dibandingkan periode yang sama di tahun lalu dengan realisasi sebesar Rp 444,6 Triliun.
Kedua, kata dia, kontraksi pertumbuhan ekonomi triwulan satu di 2020 sebesar -2,41 persen. Dimana banyak sektor mengalami negative growth? Jasa pendidikan turun (-10,39%), diikuti administrasi pemerintahan, konstruksi, transportasi dan pergudangan, pengadaan listrik dan gas, penyediaan akomodasi dan makan minum, pertambangan dan penggalian.
“Terdapat tiga sektor utama penopang ekonomi Indonesia. Sumbangan sektor terbesar terhadap PDB selama 2014-2019 adalah, industri pengolahan (19-22%), perdagangan besar-eceran-reparasi mobil motor (13%), pertanian (12-13,6%)gg
Sektor jasa keuangan dan asuransi hanya menyumbang sekitar 3,9-4,19%,” jelasnya.
Mudrajad menegaskan, sampai ditemukan vaksin yang efektif, masyarakat dunia harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan.
“WHO menyatakan bahwa kita harus hidup berdampingan dengan Covid-19. Mengapa? Karena ada potensi bahwa virus ini tidak akan segera menghilang dan tetap ada di tengah masyarakat. Berdampingan bukan berarti menyerah, tapi menyesumenyesuaikanaikan diri,” tandas mantan jurnalis Tempo yang bertugas di Eropa ini.
Selanjutnya, kata dia, bagaimana Kementerian Koperasi dan UMKM (Kemenkop dan UMKM) yang cukup berperan penting dalam menjaga kelangsungan usaha berbasis rakyat menghadapi era New Norma^} Kemenkop UMKM sebaiknya harus menyiapkan empat strategi dalam menghadapi era New Normal.
Pertama, harus bisa mengenali konsumen atau pasar di era New Normal. Kedua, mengomunikasikan keunggulan, kekhasan, dan keunikan. Sedangkan ketiga, melakukan digitalisasi proses bisnis atau menggunakan platform digital.
Terakhir, dilakukan tambahan penyertaan modal negara PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan PT Permodalan Nasional Madani.
“Dari total usaha bisnis Indonesia sebanyak 64.199.606 unit usaha,98,7% adalah usaha mikro,1,22% usaha kecil. Jadi strategi restrukturisasi kredit masih belum cukup untuk menyelamatkan dan memulihkan UMKM di era Covid-19,” tutur Mudrajad Prof Mudrajad menambahkan, jilid 3 paket kebijakan stimulus ekonomi.
Stimulus ekonomi jilid I dilakukan di bidang pariwisata, setelah melakukan larangan penerbangan dari dan menuju Tiongkok pada pertengahan FebruariPemerintah menerapkan diskon tiket penerbangan domestik dan pembebasan pajak restoran serta hiburan.
Sedangkan stimulus ekonomi jilid II berisi kebijakan fiskal dan nonfiskal, utamanya untuk menopang aktivitas industri. Termasuk dalam paket stimulus fiskal yakni pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 untuk pekerja, penundaan pengenaan PPh Pasal 22 Impor, dan pengurangan PPh Pasal 25 Badan sebesar 30%,” katanya.
Stimulus tersebut berlaku untuk industri manufaktur selama enam bulan. Selain itu terdapat juga percepatan dan kenaikan batas maksimum restitusi pajak. Sedangkan stimulus non-fiskal berupa penyederhanaan dan pengurangan larangan terbatas ekspor dan impor, percepatan ekspor, dan impor untuk eksportir dan importir bereputasi baik, dan terkait pengawasan logistik. Lebih jauh dia berkata, stimulus jilid III akan diluncurkan dengan fokus untuk penanganan kesehatan.
Besaran nilai stimulus masih diperhitungkan. Masuk dalam perhitungan diantaranya jumlah rumah sakit daerah yang membutuhkan bantuan, biaya yang dibutuhkan rumah sakit untuk peningkatan kapasitas serta kebutuhan alat pelindung diri seperti masker dan handsanitizer.
“Seiring stimulus jilid III ini, maka akan ada kebijakan realokasi anggaran kementerian/lembaga dan daerah.Pemerintah akan mengatur realokasi anggaran melalui Keputusan Presiden,” katanya.
Sementara itu Juru Bicara Presiden, Fajroel Rachman yang juga menjadi pembicara utama dalam Webinar ini mengingatkan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak mungkin diimplementasikan dalam jangka lama karena masyarakat perlu menyelamatkan kehidupan sosial ekonomi.
“Agar interaksi dan aktivitas sosial tidak menyebabkan penyebaran Covid-19 maka perlu perubahan tata cara pengaturan berinterakasi. Perubahan tata cara tersebut berdasar pada protokol kesehatan ketat standar WHO,” jelas Fajroel.
Fajroel mengatakan tata cara kehidupan baru mengatur interaksi dan aktivitas semua bidang berdasar protokol kesehatan. Keharusan dan kedisiplinan pada tata cara baru tersebut bisa menghindari penyebaran Covid-19 dan sekaligus tetap bisa beraktivitas.
“Landasan hukum adalah Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/Menkes /328/2020,” urainya. Dia menambahkan, pengetahuan kritis dan literasi media terhadap Covid-19 masih belum merata. Dari hoaks, EGP, hingga saat masih ada yang meyakini ‘virus adalah makhluk u
Tuhan’ tanpa ada usaha pencegahan “Kedisiplinan (ketaatan) seluruh pihak terhadap tata cara berdasar protokol kesehatan belum ideal. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo mengadakan upaya membentuk kedisiplinan menunju kenormalan baru (Adaptasi Kebiasaan Baru).
Tingkat kesulitan penegakan hukum protokol kesehatan di masa kenormalan baru menghadapi tingkat kemajemukan sosial yang tinggi,”urainya.
Fajroel menuturkan, setiap daerah/kota membutuhkan pendekatan berbeda dalam penegakan hukum ‘kenormalan baru’.
Kepemimpinan Presiden Joko Widodo bekerja dan konsisten pada demokrasi yang menghindari atau menjauhi model represi. Kepemimpinan ini sesuai dengan fakta sosial bangsa yang bhineka.
“Secara umum, masyarakat Indonesia memiliki solidaritas sosial (modal sosial) tinggi bahkan tertinggi secara global. Seperti nilai gotong royong dan saling tolong menolong, kolaborasi,” ujarnya ***