Home Berita Seminar 53 Tahun Supersemar, Yudi Latif: Pak Harto Merealisasikan Pancasila

Seminar 53 Tahun Supersemar, Yudi Latif: Pak Harto Merealisasikan Pancasila

Home Berita Seminar 53 Tahun Supersemar, Yudi Latif: Pak Harto Merealisasikan Pancasila

Seminar 53 Tahun Supersemar, Yudi Latif: Pak Harto Merealisasikan Pancasila

by humas trilogi

Pakar Hukum Tata Negara, Yudi Latif, mengatakan, Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar adalah jembatan yang terhubung antara dua masa pemerintahan yang berbeda.

 

Ketika Orde Baru itu muncul, menurutnya, juga membawa hal-hal yang masih tersisa di Orde Lama. Dan seringkali, orang kalau melihat Presiden Soeharto dan Presiden Soekarno selalu dihadapkan secara kontradiktif.

 

“Padahal saya melihat, antara Bung Karno dan Pak Harto ada kesamaan komitmen. Yaitu, ketika keduanya menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Soekarno menyusun Pancasila dan Pak Harto merealisasikannya,” kata Yudi dalam seminar nasional  53 Tahun Supersemar 1966 “Kepemimpinan Nasional dalam Perspektif Pancasila” di Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (12/3/2019).

 

Menurutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada zaman Soekarno belum mampu direalisasikan, saat itu hanya terdapat MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).

 

Tahun 1955 ketika pemilu pertama dilaksanakan, konstitusi juga belum mengamanatkan MPR sebagai lembaga tertinggi. “Nah, baru pada zaman Pak Harto MPR dapat terwujud, yaitu setelah tahun 1971,” tandasnya.

 

Meskipun tidak sepenuhnya sempurna, namun jelas dia lagi, Pak Harto mampu merealisasikan MPR pada masanya. Ketidaksempurnaan itu menurutnya, bukanlah alasan untuk meniadakan peran dan fungsi MPR. Karena dalam prinsip moral publik, ada teori menawarkan gagasan dan juga mempertahankan rumah sendiri.

 

“Kita ingat dulu Bung Hatta mengatakan, jangan sampai negara hukum menjadi negara kekuasaan akibat cara kita membakar rumah sendiri. Kita tidak bisa mengubah kalau cara mengubahnya itu juga anarki,” tukas Yudi.

 

Untuk mewujudkan hal itu, menurutnya, yakni dengan loyalitas terhadap konstitusi dan konsensus bersama yang telah disepakati.

 

Memang menurutnya, dalam setiap sistem politik, tidak ada yang sempurna. Karenanya, sesuatu yang memungkinkan untuk mewujudkan sistem yang rapi adalah dengan loyalitas terhadap institusi bersama.

 

“Pak Harto dan Bung Karno boleh beda pandangan dan cara mengelola negara, tetapi keduanya memiliki loyalitas pada negara dan rakyat Indonesia,” tegas Yudi, disambut tepuk tangan peserta seminar.

 

Namun, Yudi menyayangkan, berjalannya reformasi selama 20 tahun tidak melihat demokrasi berjalan on the track. Malah justru yang terjadi sebaliknya. Yakni jelas dia, cara melihat demokrasi berjalan on the track dengan melihat kepemimpinan berdasarkan sila keempat dan sila kelima Pancasila.

 

Menurutnya, kedua sila ini bagus sekali. Bahkan pengamat politik terkemuka mengatakan, bahwa untuk menciptakan demokrasi yang baik, yaitu dengan mewujudkan persatuan nasional yang kuat. Setelah demokrasi dijalankan, seharusnya negara semakin kuat, bukan malah mengarah kepada perpecahan nasional.

 

Ditegaskan dia, bahwa keberhasilan demokrasi dapat dilihat dari keadilan sosial yang baik. Karena jika kesenjangan dan disparitas terjadi sangat dalam, maka tinggal menunggu bom waktu dan akan menikam demokrasi itu sendiri.

 

“Pancasila dapat digunakan untuk mengukur, apakah demokrasi itu berjalan dengan baik atau tidak,” ujar mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

 

Karena tambah dia, setiap sistem politik selalu mencari keseimbangan antara legitimasi dan efisiensi. Adapun yang dimaksud legitimasi tingkat partisipasi dan tingkat kepercayaan. “Sehingga pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang legitimate,” tukasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, indikasi demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Hal ini dilihat dari banyaknya para pejabat yang ditangkap akibat korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga kondisi itu menunjukkan bahwa sistem politik tidak dapat meningkatkan produktivitas nasional.

 

Padahal menurutnya, demokrasi Indonesia bisa dibilang demokrasi termahal karena membutuhkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang cukup besar ketika terjadi pergantian kepemimpinan secara nasional. (sumber: cendananews.com, 12 Maret 2019)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ten − 1 =