Home Berita Refleksi Pemikiran Sistem Ekonomi Pancasila Subiakto Tjakrawerdaja

Refleksi Pemikiran Sistem Ekonomi Pancasila Subiakto Tjakrawerdaja

Home Berita Refleksi Pemikiran Sistem Ekonomi Pancasila Subiakto Tjakrawerdaja

Refleksi Pemikiran Sistem Ekonomi Pancasila Subiakto Tjakrawerdaja

by admin trilogi

Refleksi Pemikiran Sistem Ekonomi Pancasila Subiakto Tjakrawerdaja

 

Jakarta – Serial Kajian Sistem Demokrasi dan Ekonomi Pancasila yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Trilogi telah memasuki seri ke-2. Kegiatan yang dilaksanakan pada Rabu, 11 Agustus 2021 secara daring ini mengambil tema “Refleksi Pemikiran Sistem Ekonomi Pancasila Subiakto Tjakrawerdaja”

 

Beberapa tokoh nasional hadir dalam acara ini diantaranya Ir. H. Aburizal Bakrie (Menko Kesra 2005-2009), Prof. Dr. H. Haryono Suyono, M.A. (Menko Kesra dan Taskin 1998), Dr. Fuad Bawasier (Menteri Keuangan 1998) serta Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. (Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta).

 

Dalam pembukaannya Prof. Dr. Ir. Arissetyanto Nugroho, M.M., IPU (Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia Jakarta) menyampaikan “Kehadiran buku SEP ini  merupakan upaya merekonstruksi pemikiran para pendiri negara secara ilmiah tentang Demokrasi Ekonomi melalui pendekatan kesisteman, yang merupakan bagian integral dari Sistem Demokrasi Pancasila. Secara keilmuan buku ini juga memperkaya khazanah keilmuan dalam mengonseptualisasikan dan memberikan pembelajaran SEP,”

 

Meskipun pada tataran aksinya masih ada kekurangan. Namun demikian, kelebihannya lebih banyak dan diakui dunia internasional, selama Orde Baru.  Ia kembali menekankan bahwa Pancasila adalah cara pandang bangsa Indonesia dan dirinya, ungkap beliau. Itulah nasionalisme.

 

Ada dua hal penting yang digarisbawahi Prof. Aris yaitu: Pertama, diperlukan dialog dan konsensu bersama untuk meletakkan dan menggunakan Pancasila dalam menata kembali kerangka kehidupan perekonomian negara. Konsensus bersama tersebut mesti dijiwai dan diletakkan di atas semangat kesepakatan para pendiri negara.  Dengan demikian kita bisa memastikan bahwa semua hasil-hasil pembangunan nasional bermanfaat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

Kedua, dalam masa transisi menuju 100 tahun Indonesia merdeka, kita sebagai bangsa mesti  mampu mengelola kerawanan, tantangan dan ancaman yang dihadapi. Pasalnya,  implemenyasi SEP membutuhkan suasana kondusif, bukan sebaliknya. Batang tubuh UUD 1945 yang melandasi SEP ialah Pasal 23, 27, 33 dan 34 UUD 1945.

 

Semunya disebut sebagai acuan mendorong pencapaian Kesejahteraan Sosial Bangsa Indonesia. Kata Prof. Aris, tugas kita saat ini sebagai warga negara adalah bagaimana mengawal dan mendorong terciptanya kondisi yang kondusif  sehingga implementasi SEP jadi kenyataan.

 

Diskusi ini juga mengadirkan Abu Rizal Bakrie yang akrab disapa Ical. Beliau  merupakan kolega almarhum Subiakto sejak di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) tahun 1977.  Mereka acapkali berdiskusi  dan berdebat pendapat maupun pandangan.

 

Kesan utama Ical  terhadap Subiakto adalah sosok yang konsisten dengan Sistem Ekonomi Pancasila terutama melalui gerakan lewat koperasi dan usaha rakyat. Ditambahkan bahwa beliau tak hanya konsisten secara teoritis juga dalam tataran implementasi.

 

Proses diskusi pemikiran Subiakto ini menghadirkan tiga tokoh yaitu Prof. Dr. Haryono Suyono, Dr. Fuad Bawazier dan Prof. Dr. Edy Suandi Hamid.

 

Pelaksanaan diskusi ini dimoderatori Dr. Aam Bastaman, Dosen Manajemen Universitas Trilogi. Diskusi yang berlangsung hingga jam 11.45 WIB ini berlangsung atas kerjasama Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Universitas Trilogi, Penerbit Rajawali Pers dan dukungan penuh Yayasan Damandiri.

 

Pemberdayaan Ekonomi Keluarga

 

Prof. Haryono menguraikan perspektif ekonomi rakyat dalam cakupan luas.  Ide pokok dalam paparan beliau ialah bagaimana memberdayakan ekonomi keluarga.  Menurutnya perberdayaan ini ditujukan bagi keluarga di pedesaan yang miskin dan tertinggal.

 

Gagasan in membutuhkan intervensi dan peran negara. Supaya gagasan ini jadi arena memanfaatkan rakyat buat kepentingan politik dalam Pemilihan Umum, maka diperlukan payung hukum. Diterbitkanlah UU No 2/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

 

Dalam pandangan Prof. Haryono, supaya ekonomi kerakyatan memiliki cakupan luas dan mendunia dibutuhkan strategi komunikasi kuat  sehingga meningkatkan pelaku dan pelanggan secara gotong royong. Nantinya bakal sejajar dengan korporasi pelaku.

 

Menurut  Prof. Haryono, pada tahun 1990-an model pemberdayaan ekonomi keluarga ini mulai dikembangkan sebagai cikal bakal  pra Koperasi dan pra Sistem Ekonomi Pancasila.  Apa yang dikembangkan Prof. Haryono dan Subiakto berlangsung hingga kini tujuan utamanya adalah mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan serta meningkatkan ekonomi keluarga.

 

Dualisme Ekonomi

 

Pemapar kedua, Dr. Fuad Bawazier.  Di awal paparannya ia memberikan masukan dan koreksi teknis penulisan buku. Namun, Fuad menilai buku SEP karangan Pak Subiakto dengan rekan, obyektif, komprehensif dan menggunakan pendekatan ilmiah. Pasalnya telah memuat sejarah pemikiran SEP.  Fuad mencatat bahwa buku mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan implementasinya berbentuk GBHN.

 

Fuad menjelaskan bahwa selama Orde Baru di Indonesia berlangsung dualisme ekonomi. Di satu sisi dikembangkan ekonomi Pancasila merujuk pasal 33 UUD 1945. Peran negara lebih dominan lewat regulasi dan operasionalnya lewat BUMN.  Di sisi lain, ada kelompok yang berorientasi kapitalisme (pasar bebas).

 

Fuad secara kritis menguraikan bahwa pascaOrde Baru berakhir, SEP juga ikut lumpuh. Malah  yang menonjol ekonomi pasar bebas yang meminimalkan peran negara. Muncullah penafsiran baru pasal 33 dengan masifnya utang luar negeri,dan  pasar modal.

 

Ketika Soeharto lengser, kata Fuad, beliau tak menyiapkan kader pemimpin penggantinya, karena ia lebih sebagai pemimpin individu.  Fuad juga memberikan kritik implementasi ekonomi Indonesia kekinian tanpa GBHN, mengabaikan pasal 33 UUD 1945, dan lahirnya aneka ragam regulasi yang pro pasar, sehingga menimbulkan kartel dan oligarki.

 

Fuad menyarankan agar buku ini diperkaya dengan aspek  pertanian, sumberdaya alam, perindustrian, dan perdagangan.  Termasuk kondisi perekonomian Indonesia di era reformasi ini terombang ambing karena menyimpang dari roh Pancasila dan pasal 33 UUD 1945. Terakhir Fuad juga menyarankan supaya ekonomi kerakyatan dihidupkan lagi.

 

Semangat Tak Pernah Berhenti

 

Pemapar ketiga, Prof. Dr. Edi Suandi Hamid.  Dalam pendangan Prof. Edy, Subiakto adalah sosok yang tak hanya getol mengusung pemikiran SEP. Melainkan juga spiritnya  dan usahanya yang tak pernah berhenti hingga akhir hayatnya.  Buku  yang ditulis Subiakto dkk ini dikategotikan sebagai pemikiran ekonomi heterdoks. Pemikiran ekonomi yang lahir dan berkembang di  luar pemikiran arus utama (Mainstream economics), klasik, neoklasik maupun sosialisme.

 

Salah satu hal monumental ialah Subiakto meminta supaya mengajarkan SEP di Universitaskan Trilogi.  Perguruan tinggi yang beliau ikut membidani kelahirannya.  Padahal kata Prof. Edy, Universitas Gajah Mada saja tempat beliau bernaung, hanya mengajarkan Perekonomian Indonesia dan hanya 1 bab mengulas SEP.

 

Pemikiran Subiakto menurutnya bukan saja SEP, melainkan juga Koperasi Indonesia. Beliau semasa hidupnya pemikiran SEP tak hanya berhenti di wacana melainkan juga ada aksinya.  Salah satu gagasan yang acapkali dibahas bersama Prof. Edy ialah pentingnya Indonesia memiliki UU Sistem Perekonomian Nasional.

 

Dia menjelaskan, draft UU tersebut sudah dibahas namun hingga kini tak ketahuan rimbanya. Ironisnya,  di dalam draft itu tak ada kata Sistem Ekonomi Pancasila.  SEP memang khas Indonesia. Tanpa merevitalisasi SEP, sulit menuntaskan problem kemiskinan dan kesenjangan.

 

Prof. Edy juga menyitir bahwa Subiakto juga menggagas pentingnya UU Kemitraan dalam Ekonomi Nasional yang menyempurnakan UU Anti Monopoli dan Persaingan Sehat.  Hal pokok yang mesti dilanjutkan para penulis adalah bagaimana. mematangkan body of knowledge SEP.

 

Debat dan polemik ekonomi Pancasila ini sudah berlangsung lima dekade sejak Emil Salim menulis SEP tahun 1966 di harian Kompas hingga kini.

 

“Meskpun buku SEP ini masih perlu perbaikan dan penyempurnaan konten, tapi kehadirannya memberi harapan dan optimisme bagi kita semua,” ujarnya.

 

Salah satu saran Prof. Edy adalah memperjuangan buku SEP ini sebagai “mata kuliah wajib” semua program studi di semua PT Indonesia.  Untuk itu Kemedibudikti mesti menindaklanjuti  supaya di era milineal ini SEP tetap dipahami secara utuh dan komprehensif.

 

Sumber: https://investor.id/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 − two =